PENGERTIAN HADITS, PERBEDAAN DENGAN AL-QU’AN DAN RUANG LINGKUPNYA

 

A.     Pendahuluan

    Al Quran dan hadits merupakan pedoman bagi seluruh umat islam di dunia yang mengatur kehidupan mereka. “Aku tinggalkan dua warisan,selama kedua-duanya kamu pegang teguh maka kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Al-qur`an dan Sunah Rasulnya (hadits) " itulah perkataan nabi untuk seluruh umat manusia. Banyak diantara kita yang mungkin terjadi kesalahpahaman dalam menyebutkan tentang apakah itu yang dinamakan hadits. Dalam makalah ini kami akan menjabarkan tentang pengertian hadits serta macam-macam hadits yang ada. Karena hadis merupakan sumber pokok kedua dari ajaran Islam, maka hadis- hadis yang dijadikan dasar untuk melaksanakan ajaran Islam haruslah yang sahih dan autentik, bukan hadis yang lemah, apalagi palsu. Untuk mengetahui otentisitas dan tingkat validitas hadis tersebut diperlukan suatu penelitian yang cermat, terutama meriwayatkannya. Memahami pengertian hadits merupakan suatu ilmu yang penting dipelajari oleh setiap muslim. Oleh karena itu penulis akan menjelaskan pengertian hadits perbedaan hadits dengan Al-Qur’an dan ruang lingkupnya.

A.     Pengertian Hadits

         Menurut bahasa hadits adalah jadid, yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti khabar, artinya berita, yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Selain itu, hadits juga berarti qarib, artinya dekat, tidak lama lagi terjadi.

        Menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah “Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”, sedangkan menurut yang lainnya adalah “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuataan, maupun ketetapannya.”

    Adapun menurut muhadditsin, hadits itu adalah “Segala apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu hadits marfu’(yang disandarkan kepada Nabi), hadits mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) ataupun hadits maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in)

A.    Perbedaan hadits dengan al-qur’an

        Meskipun Hadits dan Al-Qur’an adalah sama-sama sumber ajaran islam dan dipandang sebagai wahyu yang berasal dari Allah SWT, keduanya tidaklah persis sama, melainkan terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya. Untuk mengetahui perbedannya perlu dikemukakan terlebih dahulu pengertian dan karakteristik dari Al-Qur’an, sebagaimana halnya dengan Hadits, seperti yang telah dijelaskan.

        Kata Al-Qur’an dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar dari kata qara’a, yang berarti “bacaan” (al qira’ah). Di dalam QS Al-Qiyamah [75]: 17 disebutkan:

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَه

“sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.”

Selanjutnya, kata Qur’an secara umum lebih dikenal sebagai nama dari sekumpulan tertentu dari kalam Allah SWT yang selalu dibaca hamba-Nya.

Dengan demikian, secara terminologis Al-Qur’an berarti:

“Dia (Al-Qur’an itu) adalah Kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah SAW dengan bahasa Arab, mengandung mukjizat meskipun dengan suratnya yang terpendek, terdapat didalam mushaf yang diiwayatkan secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.”[8]

Shubhi Al-Shalih memilih definisi yang lebih ringkas, yang menurutnya telah disepakati oleh para ahli ushul fiqih, para fuqaha’, dan ulama Bahasa Arab:

“Kalam Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, terdapat di dalam mushaf, yang diriwayatkan dari Nabi SAW secara mutawatir, serta membacanya merupakan ibadah"

Dari definisi di atas jelas terlihat kekhususan dan perbandingan antara Al-Qur’an dengan Hadits, yaitu:

1.   Bahwa Al-Qur’an adalah Kalam Allah dan bersifat mukjizat. Kemukjizatan Al-Qur’an tersebut diantaranya terletak pada ketinggian balaghah (kandungan sastra)-nya yang mencapai tingkatan di luar batas kemampuan manusia, sehingga masyarakat Arab khususnya dan manusia pada umumnya tidak mampu menandinginya. Dari segi ini terlihat perbedaan yang nyata antara Al-Qur’an dengan Hadits, yatu bahwa Hadits maknanya bersumber dari Allah SWT (Hadits Qudsi) atau dari Rasul SAW sndiri berdasarkan dari hidayah dan bimbingan dari Allah SWT (Hadits Nabawi), dan lafaznya berasal dari Rasul SAW serta tidak bersifat mukjizat, sedangkan Al-Qur’an makna dan lafaznya sekaligus berasal dari Allah SWT, dan bersifat mukjizat.

2.      Membaca Al-Qur’an itu bernilai ibadah, dan sah membaca ayat-ayatnya di dalam shalat, sementara tidak demikian halnya dengan Hadits.

3.      Keseluruhan ayat Al-Qur’an diriwayatkan oleh Rasul SAW secara mutawatir, yaitu periwayatan yang menghasilkan ilmu yang pasti dan yakin keautentikannya pada setiap generasi dan waktu. Ditinjau dari segi periwayatannya tersebut, maka nash-nash Al-Qur’an adalah bersifat pasti wujudnya atau qath’i al-tsubut. Akan halnya Hadits, sebagian besar adalah bersifat ahad dan zhanni al-wurud, yaitu tidak diriwayatkan secara mutawatir. Kalaupun ada, hanya sedikit sekali yang mutawatir lafaz dan makna sekaligus

Ruang lingkup hadits

Hadits dapat di artikan sebagai perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), pernyataan (taqrir) dan sifat, keadaan, himmah dan lain-lain yang diidhafatkan kepada Nabi SAW. Salah satu ruang lingkup atau objek pembahasan Hadits adalah al-ihwal hadits dalam criteria qauliyah, fi’liyah, taqririyah, kauniyah dan hamiyah Nabi itu sendiri.

Pada periwayatan Hadits harus terdapat empat unsur yakni:

1.       Rawi ialah subjek periwayatan, rawi atau yang meriwayatkan Hadits.

2.      Sanad atau thariq ialah jalan menghubungkan matan Hadits kepada Nabi Muhammad SAW.  Sanad ialah sandaran hadits, yakni referensi atau sumber yang memberitahukan Hadits, yakni rangkaian para rawi keseluruhan yang meriwayatkan Hadits.

3.      Matan adalah materi berita, yakni lafazh (teks) Haditsnya, berupa perkataan, perbuatan atau taqrir, baik yang diidhafahkan kepada Nabi SAW, sahabat atau tabi’in, yang letaknya suatu Hadits pada penghujung sanad.

4.      Rijalul Hadits ialah tokoh-tokoh terkemuka periwayat hadits yang di akui ke absahannya dalam bidang hadits. Dengan demikian untuk mengetahui seseorang di sebut  sebagai rijalul hadits ditentukan oleh ilmu rijalul hadits.

Ruang lingkup pembahasan mengenai Hadits harus juga sampai pada penelaahan mengenai aspek-aspek dari materi isi kandungan tersebut. Adapun ruang lingkup pembahasan ilmu Hadits atau ilmu musthalah Hadits pada garis besarnya meliputi ilmu Hadits Riwayah dan ilmu Hadits Dirayah. Manfaat mempelajari ilmu Hadits Riwayah ini ialah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun obyek ilmu Hadits Dirayah terutama ilmu musthalah yang khas, ialah meneliti kelakuan para perawi, keadaan sanad dan keadaan marwi (matan)-nya


MAKALAH TENTANG TAFSIR, TA’WIL DAN TERJEMAH


A.          PENDAHULUAN 
Al Qur`an merupakanpetunjukbagiseluruhumatmanusia.[1]Al Qur`an adalah wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. dengan media malaikat Jibril as. Dalam fungsinya sebagai petunjuk, al Qur`an dijaga keasliannya oleh Allah swt. Salah satu hikmah dari penjagaan keaslian dan kesucian al Qur`an tersebut adalah agar manusia mampu menjalani kehidupan di dunia ini dengan benar sehingga kemudian selamat, di dunia ini dan, di akhirat sana.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafald dan ungkapan Al Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global, sedangkan kalangan cendekiawan dan terpelajar akan dapat mengumpulkan pula dari pandangan makna-makna yang menarik. Dan diantara cendikiawan kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman maka tidaklah mengherangkan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata garib (aneh-ganjil) atau mentakwil tarkib (susunan kalimat) dan menterjemahkannya kedalam bahasa yang mudah dipahami.

A.    TAFSIR
Dilihat dari segi bahasa, tafsir bermakna menyingkap, menjelaskan dan menampakkan. Dan dilihat dari segi istilah, tafsir berarti suatu ilmu yang dapat mengungkap pesan kitaballah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW sehingga dapat menjelaskan makna-makna dan hukum-hukumnya.
Sedangkan pengertian menurut istilah yang lain adalah:
1.      Menurut al-Jurjani, tafsir adalah menjelaskan makna kenyataannya, kisahnya dan sebab yang karenanya ayat diturunkan, dengan lafadz yang menunjukkan kepadanya dengan jelas sekali
2.      Menurut az-Zarkazyi ialah suatu pengetahuan yang dengan pengetahuan itu dapat dipahamkan kibullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW menjelaskan maksud-maksudnya mengeluarkan hokum-hukumnya dan hikmahnya.
3.      Menurut al-Kilbyi ialah mensyarahkan al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya ataupun dengan najwahnya.
4.      Menurut Syeikh Thorir, ialah mensyarah kan lafad yang sukar dipahamkan oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud dengan menyebut muradhifnya atau yang mendekatinya atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan.
      B.     TA’WIL
Ta’wil dari segi bahasa bermakna mengembalikan ,menuju ketitik akhir dan menjelaskan implikasinya (terlibat), dan dari segi istilah berarti mengembalikan sesuatu kepada tujuannya semula, baik secara ilmiah maupun praksis (bidang kehidupan).Dengan alasan yang kuat dan syarat-syarat yang lengkap maka suatu dalil dapat di ta’wilkan. Tujuan darita’wil agar tidak terjadi kesalah pahaman. Ada pun syarat-syarat penggunaan ta’wil adalah sebagai berikut:
  1.  Sesuai dengan ilmu Bahasa
  2. Dapat digunakan sesuai dengan pengertian bahasa
  3. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’ dan istilah-istilah syara’ yang ada
  4. Menunjukan dalil
  5. Apabila berdasarkan qiyas, haruslah memakai qiyas yang terang dan kuat

A.    C. TERJEMAH

TeTerjemah secara harfiah berarti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan dari satu Bahasa ke Bahasa yang lain. Sedangkan terjemahan, berarti Salinan Bahasa, atau alih Bahasa dari suatu Bahasa ke Bahasa yang lain. Orang yang menerjemahkan sesuatu, termasuk al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Penerjemah, juru terjemah atau juru Bahasa, sedangkan dalam Bahasa Arab, disebut dengan mutarjim, tarjuman atau turjuman. Melakukan terjemahan tentunya terdapat persyaratan-persyaratan formal yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin melakukan terjemahan pada suatu Bahasa, terlebih lagi bagi yang ingin menerjemahkan al-Qur’an ke dalam Bahasa yang lain. Adapun syarat-syarat yang yang harus dipenuhi dalam menerjemahkan al-Qur’an adalah sebagai berikut:

a.   Mutarjim/ penerjemah al-Qur’an pada dasarnya harus memenuhi prasyarat seperti mussafir seperti memiliki I’tikad baik, niat yang tulus, menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan seperti ilmu kalam, fikih usul fikih, ilmu akhlak dan lain-lain. Dengan syarat tersebut dimaksudkan agar seorang penerjemah al-Qur’an terhindar dari kemungkinan salah/keliru dalam menerjemahkan al-Qur’an.

b.   Mutarjim/ penerjemah al-Qur’an harus memiliki akidah Islamiah yang kuat dan lurus. Hal ini dikarenakan seorang yang tidak memiliki akidah islamiah yang sehat, tidak diperbolehkan untuk menerjemahkan al-qur’an karena jika penerjemah diserahkan pada orang yang tidak beriman dan tidak berkepentingan dengan pengamalan al-Qur’an, maka serba sangat mungkin terjemahannya bercampur aduk dengan kesalahan dan kerancuan.

c.       Mutarjim harus menguasai dengan baik dua Bahasa yang bersangkutan.

d. Mutarjim diharuskan lebih dulu menuliskan ayat-ayat al-Qur’an, dan kemudian baru diterjemahkan sekaligus. Selain dimaksudkan untuk memudahkan pembaca mengecek makna yang sesungguhnya ketika terdapat terjemahan al-Qur’an yang diragukan kebenarannya.

MAKALAH TENTANG PERIODISASI DAN PERKEMBANGAN HADITS

PERIODISASI DAN PERKEMBANGAN HADITS

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Mengkaji sejarah perkembangan hadits sangat penting sebelum mengkaji secara lebih jauh tentang ilmu hadits. Mempelajari sejarah hadits sangat diperlukan yaitu dengan cara memeriksa periode-periode yang telah dilalui oleh hadits (sejarah perkembangannya). Akan tetapi dewasa ini banyak sekali yang tidak mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits. Tentunya suatu hal yang tidak sewajarnya  apabila umat Islam itu sendiri tidak mengetahuinya.
Oleh sebab itu di dalam makalah ini  akan kita bahas tentang periodisasi dan perkembangan hadits. Makalah ini akan memaparkan tentang Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits Pada Masa Nabi Muhammad SAW,Masa Sahabat Besar, Masa Sahabat Kecil, Pada Abad II Hijriyah, Pada Awal Sampai Akhir Abad III Hijriyah, Pada Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII Hijriyah, Pada Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang


PEMBAHASAN

     A.      Hadits Pada Masa Nabi Muhammad SAW.
Hadits pada masa Nabi Muhammad ini disebut dengan ‘Ashr al-Wahyi wa al-Taqwīn’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode ini hadits lahir berupa sabda (aqwal), perbuatan (af’al) dan penetapan (taqrīr) Nabi yang berfungsi menerangkan al-Qur’ān untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.
Periode ini berlangsung selama 23 tahun. Pada masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus diwurudkannya hadits. Keadaan seperti ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Oleh karenanya segala apa yang dilihat ataupun disaksikan oleh para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Beliau merupakan landasan bagi amaliyah sehari-hari mereka yang wajib untuk diikuti dan ditaati. Mereka merasa yakin bahwa Beliau merupakan figur pemimpin yang mampu mengayomi semua kalangan masyarakat, baik dari golongan masyarakat tingkat yang paling bawah sampai masyarakat tingkat atas.
Pada periode ini, Nabi memerintahkan kepada para sahabat lebih khusus kepada sekretarisnya untuk menulis al-Qur’ān setiap wahyu turun kepadanya. Pada kesempatan yang sama ini Beliau juga melarang untuk menuliskan sesuatu selain al-Qur’ān.
Maka segala hadits yang diterima oleh para sahabat yang datangnya dari Rasulullah diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Beliau untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.
Larangan penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindari adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan al-Hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan al-Qur’ān, karena dianggapnya segala yang dikatakan Rasulullah tersebut adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzīl (turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara al-Qur’ān dengan al-Hadits. 
Ketika Rasulullah wafat, al-Qur’ān telah dihafal dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci al-Qur’ān seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Sedangkan penulisan hadits ketika itu kurang memperoleh perhatian dari Rasulullah seperti halnya al-Qur’ān. Namun, penulisan hadits pada saat itu dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena penulisan hadits tersebut tidak diperintahkan langsung oleh Rasulullah seperti halnya dalam penulisan al-Qur’ān.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat untuk menulis hadits secara tidak resmi. Mereka memahami bahwasanya larangan Rasulullah menulis hadits adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampuradukan hadits dengan al-Qur’ān. Sedangkan izin Beliau hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadits dengan al-Qur’ān dan diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan atau hafalannya.
Diantara para sahabat yang mencatat hadits Rasulullah dalam shahifah-shahifahnya adalah: Abdullah bin Amr bin Ash, Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abdullah bin Abi Awfa, Samurah bin Jundub, Ali bin Abi Thalib.

    B.       Hadits Pada Masa Sahabat Besar (al-Khulafā' al-Rāsyidūn)
Pada masa sahabat ini disebut dengan periode Ashr-At-Tatsabbūt wa Al-Iqlāl min Al-Riwāyah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi Muhammad SAW. wafat pedoman hidup mereka yaitu al-Qur’ān dan hadits (As-sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat. Seperti sabdanya yang berbunyi:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْامَاتَمَسَّكْتُمْ بِهِمَاكِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ (رواه مالك)
"saya tinggalkan untuk kalian dua perkara, niscaya kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. (HR. Al-Hakim)
Pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’ān, sehingga periwayatan hadits belum begitu berkembang dan kelihatannya mereka masih berusaha membatasinya
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadits merupakan sumber tasyri' setelah al-Qur’ān, yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Qur’ān. Oleh karenanya para sahabat khususnya khulafā' al-rāsyidūn (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubair, Ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadits.                                                                                    
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadits dilakukan dengan sangat hati-hati. Beliau merupakan sahabat Nabi yang pertama kali menunjukkan sikap kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadits.
Peristiwa yang terjadi disaat seorang nenek-nenek datang kepada Abu Bakar untuk mempermasalahkan warisan dari harta yang ditinggalkan cucunya. Menanggapi hal tersebut Abu Bakar berkomentar bahwa dia tidak pernah menemukan ketentuan tersebut dalam al-Qur’ān, sementara dia juga tidak pernah mendengar hadits Rasulullah tentang hal tersebut. Untuk mencari solusi dari masalah tersebut, kemudian Abu Bakar mempertanyakan kepada para sahabat lainnya. Disaat itulah tampil mughirah dengan mengatakan bahwa bagian seorang nenek atas warisan cucunya adalah 1/6. Beliau kemudian mengajukan persyaratan adanya saksi yang dapat mendukung kebenaran ucapan mughirah tersebut. Disaat itulah Muhammad ibn Maslamah memberikan kesaksiannya. Berdasarkan ungkapan Mughirah yang dikuatkan dengan kesaksian Maslamah itulah pada akhirnya Abu Bakar menerima riwayat tersebut dan berkenan memberikan bagian 1/6 kepada seorang nenek tersebut.
Dapat dipahami bahwa Abu Bakar dalam hal ini tidak semerta-merta dapat menerima begitu saja riwayat suatu hadits sebelum meneliti terlebih dahulu periwayatannya. Untuk membuktikan bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah SAW, beliau meminta kepada periwayat hadits untuk menghadirkan saksi. Tindakan hati-hati yang dilakukan oleh Abu Bakar juga diikuti oleh sahabat Umar bin Khathtab. Dalam hal ini beliau juga terkenal sebagai orang yang sangat berhati-hati didalam meriwayatkan sebuah hadits. Beliau tidak mau menerima suatu riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya.
Kasus yang dihadapi Umar ibn Khathab, ketika suatu hari Abu Musa al-Asy'ari datang ke rumahnya. Namun Abu Musa kemudian kembali karena setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam tiga kali tidak ada sahutan. Melihat sikap yang demikian akhirnya Umar memanggil Abu Musa dan menanyakan mengapa bersikap demikian. Mendengar keterangan tersebut Umar tidak langsung mempercayainya, namun beliau meminta Abu Musa untuk mendatangkan seorang saksi yang membenarkan ucapannya itu.
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Umar bin Khaththab berusaha untuk bersikap hati-hati di dalam meriwayatkan sebuah hadits. Riwayat tersebut memberikan gambaran bahwa Umar bin Khaththab mau menerima riwayat hadits Abu Musa setelah ada saksi dari sahabat yang lain, yaitu Ubay bin Ka'ab yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad memang pernah menyatakan atau mengatakan seperti yang dikatakan oleh Abu Musa al-Asy'ary.
Pada masa Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib periwayatan hadits juga dilakukan dengan cara yang sama dengan dua khalifah sebelumnya, yakni mereka tetap berhati-hati di dalam meriwayatkan hadits. Hanya saja usaha yang dilakukan oleh Utsman itu tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab. Sedangkan pada masa Ali bin Abi Thalib, beliau bersedia menerima suatu riwayat apabila periwayat hadis tersebut mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya saja kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya dia tidak memintanya untuk bersumpah. Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits.
Dalam praktiknya, ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. yaitu: pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasulullah). Kedua dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).
     C.      Hadits Pada Masa Sahabat Kecil
Periode ini disebut dengan ‘Ashr Intisyār al-Riwāyah ilā al-Amshār (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits). Pada dasarnya periwayatan pada periode ini tidak jauh berbeda dengan periwayatan yang dilakukan oleh para sahabat. Hanya saja pada persoalan yang dihadapi mereka yang agak berbeda dengan persoalan yang dihadapi oleh para sahabat. Pada periode ini al-Qur’ān sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga mereka sudah tidak lagi mengkhawatirkannya.  
Ketika pemerintah  dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol, disamping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits (istisydār al-Riwāyah  ilā al-Amsār).

     D.      Hadits Pada Masa Abad II Hijriyah
Pada periode ini disebut Ashr Al-Kitābah wa Al-Tadwīn (masa penulisan dan kodifikasi). Maksud dari kodifikasi pada periode ini adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dibidangnya.
Kodifikasi hadits secara resmi ini baru terjadi dipenghujung abad satu hijrah, dan usaha ini dimulai pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin oleh khalifah Umar ibn Abdul Aziz (99-101 H), (khalifah kedelapan dari kekhalifahan Bani Umayah), karena kekhawatiran Beliau akan lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah setelah wafatnya para ulama' baik dikalangan sahabat maupun tabiin. Maka kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm (gubernur Madinah), ia mengirim instruksi yang berbunyi:
"Perhatikan atau periksalah hadits-hadits Rasulullah SAW. kemudian tuliskanlah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalkan para ulama (para ahlinya). Dan janganlah kamu terima kecuali hadits Rasulullah SAW".
Abu Bakar Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri adalah ulama' yang pertama kali berhasil menghimpun hadits dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia. Beliau ini adalah seorang ulama besar di negeri Syam dan Hijaz. Akan tetapi karya beliau ini tidak sampai kepada generasi kita sekarang.
Diantara kitab hadits pada abad II H yang dapat sampai di tengah-tengah kita adalah:
  1.    Al-Muwaththā’, disusun oleh Imam Malik bin Anas pada tahun 144 atas anjuran khalifah Abu Ja'far al-Manshur. Jumlah hadits yang terdapat dalam kitab ini kurang lebih 170 buah.
  2.    Musnādu'sy-syafī'īy, disusun oleh Imam Asy-Syafi'iy yang mencantumkan seluruh hadits tersebut dalam kitab beliau yang bernama Al-Umm.
  3.    Mukhtalifu'l-Hadīts, disusun oleh Imam Syafi'iy.di dalam kitabnya beliau menjelaskan tentang cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, dan cara-cara mengkompromikan hadits-hadits yang tampaknya kontradiksi satu sama lain.
Ulama' lain sebagai penghimpun hadits pada masa ini antara lain: Ibnu Juraij (80-150 H) di Mekah, Ibnu Ishaq (151 H) di Madinah, Ibn Abi Zi'bin (80-158 H) di Madinah, Al-Rabi' ibn Shabih (160 H) di Basrah, Hammad ibn Salamah (176 H) di Basrah, Sufyan Al-Tsauri (161 H) di Kufah, Al Auza'y (156 H) di Syam, Husaim al-Wasithi (104-188 H) di Wasith, Ma'mar al-Azdy (95-153 H) di Yaman, Jabir al-Dlahabi (110-188 H) di Rei, Ibnu Mubarak (118-181 H) di Khurasan dan Al-Laits ibn Sa'ad (175 H) di Mesir.
Ciri-ciri pembukuan hadits pada periode ini yaitu hadits yang dibukukan dalam kitab mencakup hadits Nabi, fatwa sahabat dan tabiin. Dengan demikian dalam periode ini masih belum ada pemisahan antara hadits marfu', hadits mauquf, dan hadits maqthu'. Dan dalam hadits ini juga belum dipisah antara hadits shahih, hasan dan dha'if.

      E.       Hadits Pada Masa Awal Sampai Akhir Abad III Hijriyah
Pada periode ini disebut (masa penerimaan, mentashihan dan penyempurnaan). Periode ini merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Masa penyeleksian atau penyaringan hadits terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas, sejak masa Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H).
Munculnya periode ini karena pada tadwin sebelumnya belum berhasil memisahkan beberapa hadits mauquf dan mathu' dari hadits marfu', dan belum bisa meminsahkan beberapa hadits yang dha'if dari yang shahih. Bahkan masih ada hadits yang maudhu' tercampur pada yang shahih.
Para ulama pada masa ini bersungguh-sungguh dalam mengadakan penyaringan hadits yang diterimanya. Mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang dha'if (lemah) dari yang shahih dan hadits-hadits yang mauquf (periwayatannya berhenti pada sahabat) dan yang maqthu' (terputus) dari yang marfu' (sanadnya sampai Nabi SAW), meskipun meskipun sebenarnya penelitian berikutnya masih ditemukan terselipnya hadits yang dha'if pada kitab-kitab shahih karya mereka.
Ulama' hadits yang mula-mula menyaring dan membedakan hadits-hadits yang shahih dari yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang ulama' hadits yang sangat termasyhur. Kemudian pekerjaan ini diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Ia  menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-fāmius Shahīh. Dalam kitabnya ia hanya membukukan hadits-hadits yang dianggapnya shahih. Usaha Al-Bukhari ini kemudian diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Kitab-kitab hadits yang tersusun pada masa ini antara lain:
    1.    Shahih Bukhari
    2.    Shahih Muslim
    3.    Sunan Abu Daud
    4.    Sunan Al-Turmudzi
    5.    Sunan Al-Nasa'i
    6.    Sunan Ibnu Maja
    7.    Sunan al-Daramy
    8.    Al-Muntaqa
    9.    Musnad Ahmad
     10.    Al-Muwaththa Malik

    F.       Hadits Pada Masa Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII Hijriyah
Periode ini disebut dengan (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan). Periode ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa Abasiyyah angkatan kedua. Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3 disebut Mutaqaddimīn, yang mengumpulkan hadits dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri. Sedangkan setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat dan seterusnya yang disebut dengan 'Mutaakhirīn'. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimīn, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghafalnya.
Diantara kitab-kitab yang tersusun pada periode ini antara lain: Ash-Shahīh susunan Ibnu Khuzaimah, At-Taqsīm wa Anwā' susunan Ibnu Hibban, Al-Mustadrāk susunan Al-Hakim, Ash-Shalīh susunan Abu Awanah, Al-Muntaqā susunan Ibnu Jarud, dan Al-Mukhtarāh susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy.
Usaha-usaha ulama hadits yang terpenting dalam periode ini adalah:
  1.    Mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab.
  2.    Mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab enam. 
  3.    Mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab.
  4.    Mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun kitab-kitab athrāf.
Pada periode ini muncul usaha-usaha istikhrāj, yakni umpamanya mengambil suatu hadits dari Al-Bukhari Muslim, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad Al-Bukhari atau Muslim. Dan pada periode ini pula muncul usaha-usaha istidrak, yakni mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim.

     G.      Hadits Pada Masa Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang
Periode ini disebut dengan (masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan). Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w. 656 H) sampai sekarang.
Dalam periode ini usaha yang dilakukan oleh ulama adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya, dan menyusun kitab enam,kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab jami' yang umum.
Pada periode ini juga disusun kitab-kitab Zawa'id, yaitu kitab hadits yang disusun dengan memuat hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ulama hadits tertentu. Diantaranya kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab zawa'id yang lain.
Masa perkembangan hadits ini terbentang cukup panjang, mulai dari abad keempat Hijriyah terus berlangsung beberapa abad berikutnya sampai abad kontemporer. Dengan demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan Islam, yaitu fase pertengahan dan fase modern.

                                                    PENUTUP

     A.      Kesimpulan
Pertumbuhan dan perkembangan hadits pada masa Nabi Muhammad SAW berlangsung selama 23 tahun. Pada masa ini Nabi Muhammad SAW.  melarang penulisan hadits dikarenakan untuk menghindari adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan Al-Hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan al-Qur’ān.
Hadits pada masa sahabat mereka masih terfokuskan kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’ān, sehingga periwayatan hadits belum begitu berkembang dan mereka masih berusaha membatasinya disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan.
Hadits pada masa sahabat kecil periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan pada masa sahabat, hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda. Pada masa ini al-Qur’ān sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga mereka sudah tidak lagi menghawatirkannya.
Hadits pada masa periode abad II Hijriyah terjadi penghimpunan hadits yang dipimpin oleh khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Akan tetapi dalam periode ini masih belum ada pemisahan antara hadits marfu', hadits mauquf, dan hadits maqthu' dan juga belum dipisah antara hadits shahih, hasan dan dha'if.
Hadits pada masa periode awal-akhir abad III Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Munculnya periode ini karena pada tadwin sebelumnya belum berhasil memisahkan beberapa hadits mauquf dan maqthu' dari hadits marfu', dan belum bisa memisahkan beberapa hadits yang dha'if dari yang shahih.
Hadits pada masa periode abad IV-pertengahan abad VII merupakan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan hadits. Dan yang terakhir pada masa pertengahan abad VII- sekarang merupakan masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan dan pembahasan hadits. 


  Daftar Pustaka

   v  Prof. Dr. muh. Zuhri, hadistnabitelaahhistoris&metodologis,Yogyakarta,tiarawacana yogya,2011

MAKALAH TENTANG PENGERTIAN HADITS, PERBEDAAN DENGAN AL-QU’AN DAN RUANG LINGKUPNYA

PENGERTIAN HADITS, PERBEDAAN DENGAN 
AL-QU’AN DAN RUANG LINGKUPNYA

    A.  Pendahuluan
Al Quran dan hadits merupakan pedoman bagi seluruh umat islam di dunia yang mengatur kehidupan mereka. “Aku tinggalkan dua warisan,selama kedua-duanya kamu pegang teguh maka kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Al-qur`an dan Sunah Rasulnya (hadits) " itulah perkataan nabi untuk seluruh umat manusia. Banyak diantara kita yang mungkin terjadi kesalahpahaman dalam menyebutkan tentang apakah itu yang dinamakan hadits. Dalam makalah ini kami akan menjabarkan tentang pengertian hadits serta macam-macam hadits yang ada. Karena hadis merupakan sumber pokok kedua dari ajaran Islam, maka hadis- hadis yang dijadikan dasar untuk melaksanakan ajaran Islam haruslah yang sahih dan autentik, bukan hadis yang lemah, apalagi palsu. Untuk mengetahui otentisitas dan tingkat validitas hadis tersebut diperlukan suatu penelitian yang cermat, terutama meriwayatkannya. Memahami pengertian hadits merupakan suatu ilmu yang penting dipelajari oleh setiap muslim. Oleh karena itu penulis akan menjelaskan pengertian hadits perbedaan hadits dengan Al-Qur’an dan ruang lingkupnya.
    B.     Pengertian Hadits

Menurut bahasa hadits adalah jadid, yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti khabar, artinya berita, yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Selain itu, hadits juga berarti qarib, artinya dekat, tidak lama lagi terjadi.
Menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah “Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”, sedangkan menurut yang lainnya adalah “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuataan, maupun ketetapannya.”
Adapun menurut muhadditsin, hadits itu adalah “Segala apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu hadits marfu’(yang disandarkan kepada Nabi), hadits mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) ataupun hadits maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in).
    C.    Perbedaan hadits dengan al-qur’an
Meskipun Hadits dan Al-Qur’an adalah sama-sama sumber ajaran islam dan dipandang sebagai wahyu yang berasal dari Allah SWT, keduanya tidaklah persis sama, melainkan terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya. Untuk mengetahui perbedannya perlu dikemukakan terlebih dahulu pengertian dan karakteristik dari Al-Qur’an, sebagaimana halnya dengan Hadits, seperti yang telah dijelaskan.
Kata Al-Qur’an dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar dari kata qara’a, yang berarti “bacaan” (al qira’ah). Di dalam QS Al-Qiyamah [75]: 17 disebutkan:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَه
“sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.”
Selanjutnya, kata Qur’an secara umum lebih dikenal sebagai nama dari sekumpulan tertentu dari kalam Allah SWT yang selalu dibaca hamba-Nya.
Dengan demikian, secara terminologis Al-Qur’an berarti:
“Dia (Al-Qur’an itu) adalah Kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah SAW dengan bahasa Arab, mengandung mukjizat meskipun dengan suratnya yang terpendek, terdapat didalam mushaf yang diiwayatkan secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.”[8]
Shubhi Al-Shalih memilih definisi yang lebih ringkas, yang menurutnya telah disepakati oleh para ahli ushul fiqih, para fuqaha’, dan ulama Bahasa Arab:
“Kalam Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, terdapat di dalam mushaf, yang diriwayatkan dari Nabi SAW secara mutawatir, serta membacanya merupakan ibadah.”
Dari definisi di atas jelas terlihat kekhususan dan perbandingan antara Al-Qur’an dengan Hadits, yaitu:
1.      Bahwa Al-Qur’an adalah Kalam Allah dan bersifat mukjizat.Kemukjizatan Al-Qur’an tersebut diantaranya terletak pada ketinggian balaghah (kandungan sastra)-nya yang mencapai tingkatan di luar batas kemampuan manusia, sehingga masyarakat Arab khususnya dan manusia pada umumnya tidak mampu menandinginya. Dari segi ini terlihat perbedaan yang nyata antara Al-Qur’an dengan Hadits, yatu bahwa Hadits maknanya bersumber dari Allah SWT (Hadits Qudsi) atau dari Rasul SAW sndiri berdasarkan dari hidayah dan bimbingan dari Allah SWT (Hadits Nabawi), dan lafaznya berasal dari Rasul SAW serta tidak bersifat mukjizat, sedangkan Al-Qur’an makna dan lafaznya sekaligus berasal dari Allah SWT, dan bersifat mukjizat.
2.      Membaca Al-Qur’an itu bernilai ibadah, dan sah membaca ayat-ayatnya di dalam shalat, sementara tidak demikian halnya dengan Hadits.
3.      Keseluruhan ayat Al-Qur’an diriwayatkan oleh Rasul SAW secara mutawatir, yaitu periwayatan yang menghasilkan ilmu yang pasti dan yakin keautentikannya pada setiap generasi dan waktu. Ditinjau dari segi periwayatannya tersebut, maka nash-nash Al-Qur’an adalah bersifat pasti wujudnya atau qath’i al-tsubut.Akan halnya Hadits, sebagian besar adalah bersifat ahad dan zhanni al-wurud, yaitu tidak diriwayatkan secara mutawatir.Kalaupun ada, hanya sedikit sekali yang mutawatir lafaz dan makna sekaligus.
    D.    Ruang lingkup hadits
Hadits dapat di artikan sebagai perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), pernyataan (taqrir) dan sifat, keadaan, himmah dan lain-lain yang diidhafatkan kepada Nabi SAW. Salah satu ruang lingkup atau objek pembahasan Hadits adalah al-ihwal hadits dalam criteria qauliyah, fi’liyah, taqririyah, kauniyah dan hamiyah Nabi itu sendiri.
Pada periwayatan Hadits harus terdapat empat unsur yakni:
1.       Rawi ialah subjek periwayatan, rawi atau yang meriwayatkan Hadits.
2.      Sanad atau thariq ialah jalan menghubungkan matan Hadits kepada Nabi Muhammad SAW.  Sanad ialah sandaran hadits, yakni referensi atau sumber yang memberitahukan Hadits, yakni rangkaian para rawi keseluruhan yang meriwayatkan Hadits.
3.      Matan adalah materi berita, yakni lafazh (teks) Haditsnya, berupa perkataan, perbuatan atau taqrir, baik yang diidhafahkan kepada Nabi SAW, sahabat atau tabi’in, yang letaknya suatu Hadits pada penghujung sanad.
4.      Rijalul Hadits ialah tokoh-tokoh terkemuka periwayat hadits yang di akui ke absahannya dalam bidang hadits. Dengan demikian untuk mengetahui seseorang di sebut  sebagai rijalul hadits ditentukan oleh ilmu rijalul hadits.
Ruang lingkup pembahasan mengenai Hadits harus juga sampai pada penelaahan mengenai aspek-aspek dari materi isi kandungan tersebut. Adapun ruang lingkup pembahasan ilmu Hadits atau ilmu musthalah Hadits pada garis besarnya meliputi ilmu Hadits Riwayah dan ilmu Hadits Dirayah. Manfaat mempelajari ilmu Hadits Riwayah ini ialah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun obyek ilmu Hadits Dirayah terutama ilmu musthalah yang khas, ialah meneliti kelakuan para perawi, keadaan sanad dan keadaan marwi (matan)-nya
A.    Ilmu Hadis Riwayah
Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita.Ilmu hadis riwayah, secara bahasa, berarti ilmu hadis yang berupa periwayatan.
Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan ilmu hadis riwayah, namun yang paling terkenal di antara definisi-definisi tersebut adalah definisi Ibnu Al-Akhfani, yaitu,
علم الحديث الخا ص ب الرواية علم يشتمل على اقوال النبي ص.م. وافعا له وروايتها وضبطها وتحرير الفا ظها
Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW. , periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.
Ilmu hadits riwayah mengupayakan pengutipan bebas dan cermat bagi segala sesuatu yang bersandar kepada Nabi SAW, juga segala sesuatu yang bersandar kepada para sahabat serta tabi’in.
       Namun menurut ’Itr, definisi ini mendapat sanggahan dari beberapa ulama hadis lainnya karena tidak komprehensif, tidak menyebutkan ketetapan dan sifat-sifat Nabi SAW.definisi ini juga tidak mengindahkan pendapat yang menyatakan bahwa hadis itu mencakup segala apa yang di misbatkan kepada sahabat atau tabiin sehingga pengertian hadis yang lebih tepat, menurut ’Itr, adalah,
علم يشتمل على اقوال ا لنبي ص. م.وا فعا له وتقريرته وصفا تها وروايتها وضبطها وتحرير
الفا ظها
“Ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat – sifat Nabi SAW, periwayatannya, dan penelitian lafadz – lafadznya.”
Ilmu hadits riwayah bertujuan memelihara hadis Nabi SAW. dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuannya. Ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam men- jadikan Nabi SAW.sebagai suri tauladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya.
       Objek kajian Ilmu Hadis Riwayah adalah hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaanya. Hal tersebut mencakup :
·         Cara periwayatan hadis, baik dari segi penerimaan dan juga cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lain;
·         Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, dan pembukuannya.
            Dengan penjabaran ilmu ini akan terbukalah upaya kita untuk memahami suatu hadis, apakah ia makbul dan dapat diamalkan atau mardud dan harus ditinggalkan. Disamping itu, ilmu hadis riwayah ini juga menjelaskan kepada kita makna sebuah hadis dan cara kita menyimpulkan berbagai manfaat darinya. Jadi, ilmu hadis riwayah ini merupakan suatu ilmu yang sangat agung yang dapat mendekatkan kita kepada limpahan ilmu-ilmu nabi.
Ulama yang dipandang paling terkenal dan sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Au Bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzaj (Hijaz) dan Syam (Suriah). Dalam sejarah perkembangan perkembangan hadis, Az-Zuhri terca tat sebagai ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi SAW.atas perintah Umar bin Abdul Aziz atau Khalifah Umar  II (memerintah 99 H/717 M-102 H/720 M).
            Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-besaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke 3 H, seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi dan ulama-ulama hadis lainnya melalui kitab hadis masing-masing.
    B.   Ilmu Hadis Dirayah
            Ilmu ini disebut juga dengan Mushthalah al-hadits, ‘Ulum al-hadits, Ushul al-hadis, dan ‘ilm al-hadis.
            Ilmu dirayah hadits membahas masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayatkan untuk mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak.
            Ibnu Al-akfani memberikan definisi Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut :
وعلم الحديث الخاص باالدراية : علم يعرف منه حقيقة الرواية وشروطها وانواعها واحكامها وحال وشروطهم واصناف المروية وما يتعلق بها
Dan ilmu hadis yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya."
Definisi yang paling baik, seperti yang diungkapkan oleh ‘Izzuddin bin Jama’ah, yaitu,
علم بقوانين يعرف بها احول االسند والمتن
“Ilmu yang membahas pedomaan-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan  matan.”
            Yang dimaksud dengan kalimat ilmu dalam definisi diatas adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang sesuai dengan realitas yang sebenarnya berdasarkan suatu dalil. Dalam definisi ini ia berstatus jenis yang bisa juga mencakup ilmu-ilmu yang lain, seperti ilmu fikih, ushl fiqh, dan tafsir.
            Akan tetapi, kata-kata “…yang dengannya dapat diketahui…” merupakan batasan atau fasl yang hanya memasukkan ilmu musththalah hadis kedalam definisi ini dan mengecualikan ilmu-ilmu lainnya.
            Sanad menurut muhadditsin adalah sebutan bagi rijal al-hadits yaitu rangkaian orang yang meriwayatkan hadits hingga kepada Rasulullah SAW., sementara isnad adalah penisbahan hadits kepada orang yang mengatakannya. Kedua istilah ini dapat bertukar makna, sebagaimana ia juga kadang-kadang dipakai dengan maksud rijal sanad hadis. Hal ini dapat diketahui dengan hadirnya sejumla indicator.
            Ahwal al-sanad, keadaan sanad adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan sanad hadis, seperti ittishal (bersambung).Inqitha’ (terputus), tadlis (penyembunyian kecacatan), sikap sebagian rawi yang tidak sungguh-sungguh ketika menerima hadis, lemah hafalannya, tertuduh fasik, dusta, dan sebagainya.
            Adapun matan adalah pernyataan yang padanya sanad berakhir. Sedangkan keadaan matan adalah segala sesuatu yang berkaitsn dengannya, seperti raf’ (marfuk yang dinisbahkan kepada nabi SAW) , waqf (mauquf, yang dinisbahkan kepada sahabat), syudzudz, dan sebagainya.
            Tema pembahasan ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dalam upaya mengetahui hadis yang makbul dan yang mardud. Namun, timbul pertanyaan, bukankah tema pembahasan ini merupakan tema ilmu hadis riwayah, lalu apa bedanya?
            Jawabannya adalah bahwa ilmu hadis dirayah mengantarkan kita untuk mengetahui hadis yang makbul dan mardud secara umum berdasarkan kaidah-kaidahnya; sementara ilmu hadis riwayah merupakan upaya untuk membahas hadis-hadis tertentu yang dikehendaki, lalu diaplikasikan dengan kaidah-kaidah umum diatas untuk diketahui apakah suatu hadis itu makbul atau mardud, sekaligus menguji ketepatan periwayatannya dan syarahnya.Dengan demikian, ilmu hadis riwayah lebih merupakan penerapan praktis dari suatu hadis yang diinginkan. Perbedaan antara keduanya sama seperti perbedaan ilmu nahwu dan I’rab atau ushl fikih dan fikih.

   E.    Kesimpulan

1.    Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al – Qur’an. Di dalam Hadits itu sendiri terpata klasifikasi atau penggolongan baik dari segi banyaknya rowi yaitu ada hadits mutawatir dan hadits ahad; dari segi kualitas hadits ada hadits sahih, hadits hasan, hadits daif , dan hadits maudu’ ; dari segi kedudukan dalam hujjah ada hadits maqbul dan hadits mardud; dari segi perkembangan sanadnya ada hadits muttasil dan munqati’.
2.    Al-Qur'an disebut sebagai wahyu matlu' , karena Al-Qur'an merupakan wahyu yang dibacakan Allah swt , baik redaksi maupun maknanya , kepada Nabi Muhammad saw dengan menggunakan bahasa arab.Adapun Hadist disebut  ghoiru matlu' karena hadist tidak dibacakan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw secara langsung, melainkan maknanya dari Allah dan lafalnya dari Nabi Muhammad saw .
3.    Ulumul Hadis merupakan Pengetahuan tentang segala Perbuatan,percakapan,maupun taqrir yng bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Ilmu Hadits terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah). Kedua, Ilmu Hadits Dirayat (dirayah).
Ruang linkup Ilmu Hadist adalah:Rowi,sanad,matan dan rijalul hadist.Adapun manfaat dari ulumul hadist,diantaranya adalah: untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.

DAFTAR PUSTAKA
·         DR. Nawir Yuslem, M.A., Ulumul Hadis, PT. Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2001.
·         DR. M. Quraish Shihab, M. A., Membumikan alqur’an: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Penerbit Mizan, Bogor, 1992.
·         Itr Nuruddin. Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadis. Terj. Mujio. Remaja Rosda Karya : Bandung. 2012.
As-suyuthi. Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi. Dar Al-Fikr : Beirut. 1409H/1988.

PENGERTIAN HADITS, PERBEDAAN DENGAN AL-QU’AN DAN RUANG LINGKUPNYA

  A.       Pendahuluan      Al Quran dan hadits merupakan pedoman bagi seluruh umat islam di dunia yang mengatur kehidupan mereka. “Aku ti...

TRENDING